CERPEN BERTEMAKAN KEWIRAUSAHAWAN
"DALAM DIAM"
Dari gubuk kecil ini, ia memandangi ibunya yang sedang memetik daun
teh. Tubuh mungilnya meringkuk kedinginan tanpa balutan pakaian hangat.
Rin, nama anak itu. Sejak ia baru bisa berjalan, ia mulai ikut ibunya ke
kebun teh, sekedar mengamati ibunya. Sesekali, ia disuruh ibunya untuk
melakukan ini-itu, meringankan pekerjaan ibunya.
“Rin! Kemarilah! Bawa keranjang ini ke dalam gubuk! Sehabis itu kita pulang!” teriak ibunya dari kejauhan.
Rin mengangguk, ia berlari-lari kecil menghampiri keranjang yang
dimaksud ibunya. Keranjang itu diangkatnya, sambil sesekali ia seret,
lantaran bentuknya yang besar dan berat, tidak sebanding dengan tubuh
Rin yang kecil. Dilihatnya sang ibu sedang duduk melepas lelah di gubuk.
Ibu pasti lelah bekerja seharian, katanya dalam hati.
Sementara itu, di dalam rumah megah di seberang kebun teh, tampak seorang wanita. Ia memandangi Rin dan ibunya dari kejauhan.
“Manisnya anak itu, tiap hari ia datang ke kebun dan membantu ibunya,” ucap wanita itu.
Wanita itu adalah si pemilik kebun teh tempat ibu Rin bekerja.
Sesekali, ia menghampiri Rin, lalu ia memberinya makanan ringan dan
permen. Tiap kali ia melihat Rin, ia selalu teringat pada anaknya yang
telah tiada. Ingatan tentang suaminya juga menghantuinya. Dua orang yang
sangat dicintainya itu meninggal karena suatu kecelakaan.
Meninggalkannya sendirian bersama kebun teh, rumah mewah, dan para
pembantu.
Senja telah tiba, matahari membenamkan diri di ujung barat. Di desa
kecil ini, tampak sebuah rumah sederhana di ujung jalan. Itulah rumah
tempat tinggal Rin dan ibunya. Sesampainya di rumah, Rin bergegas mandi
di kamar mandi sederhana mereka, yang tak bisa disebut kamar mandi,
karena hanya ada sebuah sumur dan bilik kecil dari anyaman bambu. Meski
ia masih kecil, namun ia sudah mandiri. Sementara Rin mandi, ibunya
menyiapkan makanan, sambil menjalankan ritual hariannya; mengomel. Tiap
hari ada saja yang ia keluhkan.
“Ah! Sampai kapan kita miskin?”
“Upahku hanya bisa untuk membeli beras, tahu, dan tempe saja! Bosan aku makan tahu dan tempe!”
“Dasar bocah sialan, hanya bisa merepotkan saja!”
Begitulah ibu Rin, selalu membentak dan mengeluh. Rin yang malang
itu, sering menjadi bulan-bulanan kemarahannya. Kemarahannya semakin
menjadi setelah ayah Rin meninggalkannya tanpa sebab. Entah pergi ke
mana orang itu. Apakah ia sudah menikah lagi, apakah ia sudah meninggal,
tidak ada yang tahu. Tetangga mereka seringkali mendengar omelannya.
Mereka sangat kasihan kepada Rin, namun mereka tak bisa berbuat apa-apa.
Ibu Rin akan mengomeli dan mengusir siapa saja yang ikut campur dalam
kehidupannya.
Rin sudah terbiasa dengan sifat ibunya. Ia hanya bisa menangis,
menangis dalam diam. Ia tak pernah melawan ibunya. Tak sepatah katapun
ia ucapkan. Ya, Rin adalah penyandang bisu. Ibunya sering membentak dan
memukuli Rin, karena ia kesal melihat Rin berbicara dengan bahasa
isyarat, yang sulit dipahami ibunya. Jadi, Rin memilih untuk diam saja.
Sebagai ibu, ibu Rin tak pernah mencoba untuk memahami apa yang
dibicarakan oleh anaknya, karena ia tidak sabaran. Terkadang, jika Rin
takut pada ibunya, ia akan berlari kabur dari rumah, dan bersembunyi di
kebun teh.
Sampai pada suatu hari, hari yang tak akan dilupakan oleh Rin. Ibunya
tega menjual Rin kepada sebuah keluarga demi uang. Kemiskinan dan
lilitan hutang membuatnya tega melakukan perbuatan kejam itu.
Sebuah mobil mewah menepi, lalu berhenti. Sepasang lelaki dan wanita keluar dari mobil tersebut.
“Selamat datang, Tuan dan Nyonya. Silakan masuk,” ucap ibu Rin.
Ketiga orang itu masuk ke dalam rumah. Di dalam, mereka
bercakap-cakap sambil menawar harga Rin. Percakapan mereka terdengar
oleh Rin. Mendengar namanya beserta sejumlah nominal harga disebut, Rin
sangat ketakutan. Ia berpikiran kalau ia akan dijual. Tanpa pikir
panjang, ia berlari, kabur dari rumah.
“Ngomong-ngomong, mana anak Anda?” tanya si lelaki.
“Dia sedang bermain di belakang. Sebentar saya panggilkan,” jawab ibu Rin.
Ibu Rin bergegas mencari anak satu-satunya itu. Ia memanggil-manggil
nama Rin, namun tak ada jawaban. Ia sangat panik. Ia mencari Rin di
sekitar rumah, di setiap sudut rumah, namun hasilnya nihil. Akhirnya,
dengan wajah pasrah, ia mendatangi calon pembeli Rin. Rin yang masih
berusia 10 tahun itu akan dijadikannya pembantu rumah tangga.
“Apa?! Anakmu kabur, katamu? Huh, percuma kami datang jauh-jauh kemari!” kata si wanita.
“Maafkan saya, Nyonya,” sesal ibu Rin.
“Sudahlah, ayo kita pulang saja, Ma,” ajak si lelaki.
Begitulah, Rin berhasil kabur dengan selamat.
Dalam deretan tanaman teh di kaki gunung, terlihat sesosok anak
perempuan kecil meringkuk di sela-sela deretan tanaman teh. Anak itu
adalah Rin. Tepat pada saat itu, seorang wanita, sang pemilik kebun teh
sedang berjalan-jalan menyusuri kebunnya. Matanya tertuju pada gadis
kecil yang sedang meringkuk. Selang beberapa detik, ia baru mengenali
wajah Rin, anak yang sering ia lihat. Anak yang selalu menemani ibunya
bekerja di kebuh teh miliknya. Bu Fatimah, nama wanita itu, membawa Rin
ke rumahnya yang hanya berjarak 100 meter dari situ.
“Kenapa kau ada di sini?” tanya Bu Fatimah.
Rin hanya terdiam. Anak itu menggigil kedinginan dan ketakutan.
“Apakah ibumu membentakmu lagi?” tanyanya lagi.
Ini bukan kali pertama Bu Fatimah menemukan Rin bersembunyi di
kebunnya. Sebelumnya, Rin pernah kabur kemari karena ia takut dibentak
ibunya.
Rin hanya menggeleng menjawab pertanyaan Bu Fatimah. Setelah agak
tenang, ia menceritakan segalanya. Dengan bahasa isyarat tentunya. Bu
Fatimah mendengarkannya dengan seksama. Tidak seperti ibu Rin, Bu
Fatimah adalah orang yang sabar. Ia dapat memahami pembicaraan Rin,
karena ia mempunyai adik perempuan, seorang penyandang bisu juga.
Setelah bercerita, Rin langsung. Bu Fatimah langsung memeluknya untuk
menenangkannya. Setelah tenang, Rin berpamitan untuk pulang. Namun
nasib malang selalu menghampirinya. Sesampainya di rumah, Rin tak
menemukan ibunya. Barang-baang milik ibunya juag tak ia temukan.
Dengan wajah putus asa, Rin kembali ke rumah Bu Fatimah. Melihat
wajah malang Rin, Bu Fatimah segera membawa Rin masuk ke dalam rumah.
“Kau kenapa lagi, nak?” tanyanya lembut.
Rin menceritakan apa yang telah terjadi. Bu Fatimah sangat terkejut,
lalu dipeluknya lagi anak yang kini sebatang kara itu. Tiba-tiba, Bu
Fatimah teringat pada almarhum anaknya. Dengan kebulatan tekad, ia
memutuskan sesuatu.
“Mulai sekarang, kau menjadi anak angkatku. Akan kurawat kau dengan baik” katanya.
Tahun berganti tahun. Rin telah tumbuh menjadi anak yang cantik dan
cerdas. Bu Fatimah bangga dibuatnya, karena Rin adalah anak yang
berprestasi di sekolahnya. Ia baru masuk kelas 1 SD ketika ia berusia 10
tahun, namun ia mengejar ketertinggalannya dengan tempo yang cepat,
karena kemampuannya melebihi teman-temannya. Ia juga menunjukkan
ketertarikannya pada kebun teh. Bu Fatimah memutuskan akan menyerahkan
kebun teh miliknya pada Rin.
Sampai pada suatu hari, Bu Fatimah jatuh sakit karena usianya yang
tak lagi muda. Ia sudah tak mampu lagi untuk mengurus kebun tehnya.
“Rin, saya serahkan kebun teh padamu. Jagalah kebun teh itu.
Kelolalah dengan baik, dan bersikap baiklah pada para pekerja. Saya
yakin kau akan melakukannya dengan baik,” ucap Bu Fatimah.
Rin hanya bisa mengangguk sambil menitikkan air mata. Ia bertekad
untuk mengelola kebun mereka dengan baik. Ia juga selalu merawat Bu
Fatimah dengan baik, sebagaimana Bu Fatimah merawatnya.
Perkebunan teh milik Rin kini telah berkembang pesat. Hasil panen teh
telah dikirim ke berbagai perusahaan pengelolaan teh ternama.
Keberhasilan ini ia peroleh berkat kerja keras, kegigihan, dan
kepatuhannya pada ibu angkatnya.
Suatu hari, saat ia bercengkrama dengan para pekerja, ia melihat
sosok yang tak asing, sosok yang sangat membekas dalam ingatannya,
datang menghampirinya. Rin menatap sosok itu dengan tatapan waspada.
Sosok itu adalah ibu kandung Rin. Ia hendak menemui Bu Fatimah guna
meminta izin, karena ia hendak bekerja kembali di perkebunan teh itu.
Rupanya, ia telah kembali dari perantauannya. Setelah meninggalkan Rin
dahulu, ia merantau ke kota dan bekerja sebagai buruh pabrik. Tapi,
setelah pabrik itu bangkrut, ia kembali ke kampung halamannya. Ibu Rin
tak menyangka kalau anaknya ada di situ, sebagai pemilik kebun yang
baru.
“Rin, maafkan ibu, nak. Ibu telah meninggalkanmu tanpa sebab dan
memperlakukanmu dengan buruk,” ucapnya dengan mata berkaca-kaca.
Lalu, ia memeluk Rin erat. Seketika itu, ingatan Rin dipenuhi dengan
kenangan buruktentang ibunya. Kenangan itu memberinya kekuatan untuk
melepas pelukan ibunya dengan paksa, lalu ia berlari meninggalkan
ibunya.nibu
Rin menangis sejadi-jadinya, menyesali apa yang telah ia perbuat. Para
pekerja yang tengah memetik teh hanya bergeming. Mereka malah setuju
dengan Rin, mengingat bagaimana kejamnya ibu Rin dahulu.
Rin berlari menuju rumahnya. Ingatan tentang masa lalunya yang kelam
terus menghantuinya. Melihat anak angkatnya berlari-lari, Bu Fatimah
menghampiri Rin, menanyakan apa yang telah terjadi. Rin menceritakan
bahwa ibu kandungnya datang kemari. Bu Fatimah bergegas keluar untuk
melihatnya, tetapi ibu Rin telah pergi.
Melihat wajah anaknya yang penuh dengan kegusaran dan amarah, Bu
Fatimah menasehati Rin habis-habisan. Rin yang dulu selalu ceria, kini
sering melamun. Rin yang dulu suka keluar untuk ke kebun, kini ia lebih
sering mengurung diri di kamarnya. Rupanya ia masih memikirkan perihal
ibu kandungnya.
Bu Fatimah hanya bisa tersenyum melihat perilaku Rin yang tak seperti biasanya.
Ia perlu waktu untuk bisa menerima ibu kandungnya kembali,
begitu pikirnya. Akhirnya, pada suatu malam, Rin memutuskan untuk
memaafkan ibu kandungnya sepenuhnya, dan menerimanya bekerja di situ
lagi.
Satu minggu kemudian, ibu Rin kembali datang ke rumah Rin. Rupanya,
ia kesulitan mencari pekerjaan, sehingga ia mencoba meminta untuk
bekerja di kebun teh milik anaknya itu.
“Rin, izinkan ibu bekerja di sini lagi. Ibu tak akan menuntuk apapun
darimu. Dan ibu akan tinggal di rumah kita yang dulu,” ucapnya.
Rin mengangguk dan tersenyum. Sorot matanya yang tulus menggambarkan bahwa ia telah memaafkan ibunya.
Hari-hari Rin kini terasa bahagia. Ibu kandungnya telah kembali, dan
ibu angkatnya telah sembuh dari penyakitnya. Kini, Rin mulai sering
mengunjungi ibu kandungnya di rumah sederhana mereka dulu. Rumah yang
menyimpan sejuta kenangan bagi Rin. Dalam diam, ia bersyukur pada Tuhan
atas kebahagiaan yang ia rasakan kini. Dalam dian, ia berdoa kepada
Tuhan agar kebahagiaan ini berlangsung selama-lamanya.
Sumber : https://kinanthibarru.wordpress.com/2014/11/06/cerpen-kewirausahaan-dalam-diam/