PUTRI MAYANG RAHAYU
Gambaran Perekonomian Indonesia Saat
Ini
Jumat
kemarin, tanggal 23 Agustus 2013, Pemerintah melalui Presiden dan Kementerian
terkait mengumumkan paket kebijakan penyelamatan ekonomi, termasuk didalamnya
kebijakan moneter dari Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter, untuk
mengatasi gejolak pelemahan Rupiah yang sempat menembus level Rp11,000 per US
Dollar. Jika dilihat dari nama paket kebijakannya, yakni ‘penyelamatan
ekonomi’, maka tujuan akhir dari paket kebijakan tersebut tentunya bukan
sekedar untuk mencegah Rupiah agar tidak terperosok lagi, atau untuk mengatasi
penurunan bursa saham (IHSG) yang terjadi akhir-akhir ini, melainkan
menyelamatkan perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Tapi hal ini mungkin
sekaligus menimbulkan pertanyaan, memangnya ada apa dengan perekonomian kita?
Jawaban
atas pertanyaan ini mungkin mengarah pada flashback perekonomian
Indonesia sekitar sepuluh hingga lima belas tahun kebelakang, tepatnya pasca
krisis moneter 1998. Pasca krisis, ekonomi nasional bergerak stagnan selama dua
hingga tiga tahun berikutnya, hingga pada awal tahun 2000-an terdapat satu
peristiwa global penting yang tampak sebagai peluang bagi Indonesia:
Kebangkitan Tiongkok. Sejak awal tahun 2000-an, Tiongkok mencatat pertumbuhan
ekonomi yang luar biasa tinggi, yang terutama didorong oleh kemajuan berbagai
macam industri manufakturnya. Negara ini mampu membuat apa saja, semuanya!
Mulai dari jepitan rambut, baut sepeda motor, hingga smartphone yang tidak
kalah canggihnya dengan iPhone maupun Android. Produk-produk buatan Tiongkok
ini kemudian dijual tersebar keseluruh dunia, dan bisa dengan mudah ditemukan
di negara manapun. Saking banyaknya jenis produk yang dibuat oleh Tiongkok ini,
termasuk produk-produk imitasi dari merk-merk terkenal, sampai-sampai ada
anekdot ‘God made Heaven and Earth, and the rest was made in China.’
Pertumbuhan
industri di Tiongkok hanya bisa ditopang oleh dua hal: pasokan besi dan baja,
dan pasokan bahan bakar, dalam hal ini batubara. Besi dan baja dan
produk turunannya diperlukan untuk membuat mesin-mesin industri, konstruksi
bangunan, hingga untuk bahan baku pembuatan barang-barang elektronik dan
otomotif. Sementara batubara? Untuk bahan bakar pembangkit listrik, dimana
listrik itu sendiri tentunya sangat dibutuhkan bagi segala jenis industri.
Tiongkok sebenarnya memiliki batubaranya sendiri, namun karena berbagai macam
industrinya berkembang lebih cepat dari kemampuan perusahaan-perusahaan tambang
setempat dalam menggali batubara, maka jadilah Tiongkok perlu juga mengimpor
batubara dari luar, salah satunya tentu saja, dari Indonesia.
Karena itulah, di Indonesia pada
awal tahun 2000-an mulai booming bisnis batubara, dimana kemudian banyak orang
yang menjadi sangat sukses dari bisnis ini. Beberapa grup usaha kakap, seperti
Grup Bakrie dan Saratoga, bisa kembali menjadi konglomerat seperti sekarang ini
karena kejelian mereka pada awal tahun 2000-an untuk segera masuk ke bisnis
batubara, dimana Bakrie masuk ke Arutmin dan Kaltim Prima Coal/KPC, yang
kemudian diletakkan dibawah Bumi Resources (BUMI), sementara Saratoga masuk ke
Adaro Energy (ADRO).
Booming batubara segera membawa
pengaruh positif terhadap pertumbuhan perekonomian nasional. Pada tahun 2000
Indonesia mencatat rekor surplus perdagangan (ekspor impor) sebesar nyaris US$
3 milyar, yang terutama karena meningkatnya nilai ekspor batubara, dimana
surplus tersebut kemudian berlanjut hingga tahun-tahun berikutnya.
Sebenarnya selain batubara, peluang
lainnya yang juga dihasilkan oleh kemajuan perekonomian Tiongkok adalah
meningkatnya permintaan akan besi dan baja. Sayangnya karena belum ada
perusahaan di Indonesia yang mampu memproduksi besi dan baja dalam jumlah
besar, maka peluang tersebut kemudian ditangkap oleh India, salah satunya oleh
perusahaan yang kemudian tumbuh menjadi perusahaan baja terbesar di dunia,
Arcelor Mittal. Berkat industri besi dan baja ini pula, India kemudian sukses
mencatat pertumbuhan ekonomi signifikan.
Kembali ke Indonesia. Jika anda
perhatikan, meski Indonesia dan India sama-sama mencatat pertumbuhan ekonomi
yang tinggi dalam sepuluh tahun terakhir ini, namun tidak pernah sampai
menyentuh rekor 13% per tahun seperti yang pernah dicapai Tiongkok. Wajar,
karena Indonesia dan India sebenarnya hanya kecipratan rezeki dari negaranya
Yao Ming tersebut, dimana industri di dua negara ini sejatinya belum
benar-benar berkembang, terutama di Indonesia yang para pelaku ekonominya
justru terlena dengan mudahnya mengambil keuntungan dari mengeruk batubara,
sehingga lupa untuk mengembangkan industri.
Sebenarnya, ketika Indonesia sempat
dihantam efek krisis global pada tahun 2008, mulai timbul kesadaran bahwa
pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak bisa selamanya bergantung pada ekspor
sumber daya alam, dalam hal ini batubara, melainkan para pelaku ekonominya
harus pula mendorong pengembangan industri untuk menciptakan hilirisasi, untuk
menciptakan produk yang memiliki nilai tambah. Kesadaran ini pula yang kemudian
melahirkan Masterplan Percepatan & Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
(MP3EI), dengan tujuan utamanya yaitu untuk mengembangkan infrastruktur, dimana
infrastruktur tersebut, baik dalam bentuk fisik maupun kebijakan pemerintah,
memang sangat diperlukan untuk mengembangkan industri dan pada akhirnya
menumbuhkan ekonomi. Ide mengenai MP3EI ini pertama kali dicetuskan oleh Presiden
SBY pada tahun 2008, ketika krisis global mencapai puncaknya.
Sayangnya, sebelum MP3EI tersebut
benar-benar dikerjakan, minimal dalam hal ini perencanaannya (gak usah praktek
pembangunannya, yang penting blue print-nya aja dulu), Indonesia keburu ‘ketiban
rezeki’ lagi. Pada awal tahun 2010, harga crude palm oil (CPO) alias minyak
sawit mentah mulai melejit, dan hal ini segera memberikan peningkatan
keuntungan yang besar bagi perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Karena bisnis batubara sendiri pada saat itu juga belum meredup, maka jadilah
pertumbuhan ekonomi Indonesia melaju kencang lagi, bahkan ketika Pemerintah
maupun para pelaku ekonominya almost do nothing.
Hasilnya, pertumbuhan ekonomi
Indonesia yang sempat drop menjadi 4.1% pada tahun 2009 karena pengaruh krisis
global, pada tahun 2010 langsung tancap gas lagi, dan mencapai puncaknya pada
awal tahun 2011 dimana pertumbuhan ekonomi nasional sempat menyentuh rekor 6.9%
secara year on year, berkat booming dua komoditas sekaligus, yakni batubara
dan CPO. Pada tahun 2011 ini pula, Indonesia sempat mencatat surplus ekspor
impor hingga lebih dari US$ 3 milyar, berkat tingginya nilai ekspor batubara
dan CPO.
Namun pasca tahun 2011 tersebut,
seperti yang sudah anda ketahui, keadaan seketika berbalik arah ketika
harga-harga komoditas dunia, termasuk CPO dan batubara sebagai andalan utama
ekspor Indonesia, menurun. Nilai ekspor Indonesia kemudian tertekan, dan karena
ditambah oleh meningkatnya arus impor, neraca pedagangan nasional akhirnya menjadi
defisit, dan hal ini perlahan tapi pasti menggerus pertumbuhan ekonomi hingga
terakhir menjadi hanya 5.8% pada Kuartal I 2013. Sebenarnya sejak tahun 2011,
draft MP3EI resmi disahkan sekaligus menjadi penanda bahwa Pemerintah
bersama-sama BUMN dan pihak swasta mulai membangun infrastruktur dan lain-lain.
Namun sebelum beberapa infrastruktur tersebut selesai dibangun dan mulai
memberikan kontribusi positif terhadap perkembangan industri dan perekonomian
itu sendiri, ekonomi kita keburu woles duluan.
Nah, jadi mari kita urutkan
kejadiannya. Pertama, neraca perdagangan kita defisit karena harga batubara dan
CPO turun. Kedua, defisit tersebut pada akhirnya menekan pertumbuhan ekonomi.
Dan ketiga, mata uang Rupiah dengan sendirinya melemah sebagai refleksi atas
perlambatan pertumbuhan ekonomi tersebut.
Jadi ketika Rupiah melemah, maka itu
tidak memberikan dampak perlambatan pertumbuhan ekonomi ataupun masalah
lainnya, melainkan justru perlambatan pertumbuhan ekonomi tersebut-lah, yang
kemudian menyebabkan Rupiah melemah. Di negara manapun, pelemahan mata uangnya
terhadap ‘mata uang dunia’, yakni US Dollar, memang menjadi semacam pertanda
bahwa perekonomian negara yang bersangkutan sedang bermasalah. Tahun 2011 lalu,
ketika terjadi Krisis Yunani dan Uni Eropa secara umum, mata uang Euro juga
melemah terhadap US Dollar.
Jadi ketika kemarin Pemerintah
meluncurkan paket kebijakan, maka judulnya adalah paket kebijakan penyelamatan
ekonomi, bukan paket kebijakan penyelamatan Rupiah. Karena jika kita ingin agar
nilai Rupiah kembali menguat, maka yang harus dibenahi adalah perekonomiannya.
Ibaratnya jika saya adalah Sandiaga Uno, pemilik ADRO, dan saya ingin agar
saham ADRO kembali naik, maka caranya bukan dengan menggoreng sahamnya di
market (meski itu bisa saja sih), melainkan harus dengan cara meningkatkan
kinerja perusahaaan, dan nantinya harga saham ADRO akan naik dengan sendirinya.
Hal yang juga perlu diingat disini
adalah, pelemahan Rupiah secara otomatis akan membuat harga barang-barang impor
menjadi mahal, sehingga masyarakat akan mengurangi membeli barang-barang impor
tersebut. Alhasil nilai impor Indonesia akan turun, dan jika nilai ekspornya
tetap, maka kita akan sampai pada satu titik tertentu neraca perdagangan kita
akan menjadi surplus kembali. So, pelemahan Rupiah bisa juga dianggap sebagai balancing
(penyeimbang) yang dalam jangka panjang justru bermanfaat untuk menumbuhkan
perekonomian kembali. Meski memang kalau dalam jangka pendek, pelemahan Rupiah
akan lebih memberikan efek negatif ketimbang positif, karena naiknya harga
barang-barang impor tadi sudah jelas akan menyulitkan beberapa pelaku ekonomi,
terutama perusahaan-perusahaan berbasis impor seperti distributor ponsel,
farmasi, pakan ternak (karena mereka harus impor jagung dan kacang kedelai), hingga
industri umum.
Lalu
Bagaimana Kedepannya?
Seperti yang sudah disebut diatas,
pelemahan Rupiah yang terjadi pada hari ini diawali dari turunnya harga dua
komoditas, yakni CPO dan batubara, sehingga Indonesia tiba-tiba saja kehabisan
sesuatu untuk dijual keluar. Karena disaat yang bersamaan, berbagai jenis
infrastruktur dan industri yang tengah dibangun belum siap untuk berkontribusi
terhadap perekonomian, termasuk belum siap untuk menghasilkan barang
berkualitas untuk diekspor, untuk menjaga agar nilai ekspor tetap tinggi.
Disisi lain, barang-barang impor
terus masuk ke Indonesia, sehingga akhirnya neraca kita menjadi defisit.
Defisit inilah yang kemudian menekan pertumbuhan ekonomi kita, karena ibaratnya
pengeluaran lebih besar daripada pemasukan. Defisit ini tampak buruk mengingat
sejak tahun 70-an, neraca ekspor impor kita selalu surplus dan hanya mengalami
defisit signifikan sebanyak tiga kali yakni pada tahun 1983, 2008, dan
sekarang. Yup, percaya atau tidak, meski kelihatannya rumah kita dikepung
barang-barang impor, namun ekspor kita selama ini hampir selalu lebih besar,
terutama karena ekspor sumber daya alam/SDA. Jika dulu SDA unggulan kita adalah
migas, maka sejak tahun 2000-an SDA tersebut adalah batubara dan aneka bijih
logam. Kita juga merupakan salah satu produsen CPO, kertas, kakao (coklat), dan
karet terbesar di dunia.
Balik lagi ke soal defisit. Yang
perlu digaris bawahi disini adalah, defisit perdagangan terjadi karena
meningkatnya volume impor, yang belakangan ini tidak lagi mampu diimbangi
kenaikan ekspor. Sepuluh tahun yang lalu, yakni di tahun 2003, nilai impor kita
masih di kisaran US$ 3 – 3.5 milyar per bulan. Sekarang? Data terakhir US$ 15.6
milyar pada bulan Juli 2013, turun dari puncaknya di angka US$ 17.2 milyar pada
Oktober 2012. Let say kita ambil angka yang US$ 15 milyar ini saja, maka dalam
sepuluh tahun terakhir nilai impor kita telah meningkat antara 4 – 5 kali
lipat.
Sementara dalam kurun waktu yang
sama, ekspor kita juga meningkat dari rata-rata US$ 5.0 milyar per bulan di
tahun 2003 hingga sempat mencatat rekor lebih dari US$ 18.6 milyar di tahun
2011 (ketika booming batubara dan CPO mencapai puncaknya), sebelum kemudian
turun ke level sekarang yakni US$ 14.7 milyar. Sekarang kita berandai-andai,
jika selama sepuluh tahun ini yang naik hanya ekspor, sementara impor kita
stagnan, maka berapa pertumbuhan ekonomi kita sekarang ini? Mungkin bisa lebih
tinggi dari Tiongkok.
Lalu apa yang menyebabkan jumlah
impor kita seperti meledak? Orang awam mungkin akan menunjuk impor daging sapi,
kedelai, bawang, hingga produk-produk smartphone dan tablet PC, karena impor
barang-barang itulah yang sering diberitakan di media, dan barangnya juga
sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Tapi sebenarnya nilai impor dari
barang-barang yang disebut diatas terbilang kecil. Berdasarkan data dari Badan
Pusat Statistik (BPS), impor terbesar kita saat ini (diluar impor migas, karena
migas akan selalu menjadi impor terbesar Indonesia) adalah impor mesin-mesin
dan peralatan mekanik. Bukan, mesin disini bukan perkakas seperti yang
biasa anda beli di Ace Hardware, melainkan mesin-mesin berat dan peralatan
teknik untuk industri. Dibawah mesin mekanik, impor terbesar kita adalah
mesin-mesin listrik, besi dan baja, kendaraan bermotor dan bagiannya, plastik,
bahan kimia organik, dan barang-barang dari besi dan baja, dengan nilai impor
sepanjang Semester I 2013 sebesar antara US$ 2.5 milyar (barang-barang dari
besi dan baja), hingga US$ 13.3 milyar (mesin mekanik). Setelah barang-barang
dari besi dan baja, tidak ada impor barang lain yang nilainya lebih dari US$ 2
milyar.
Ketujuh kategori barang diatas,
mulai dari mesin mekanik hingga barang-barang dari besi dan baja, menyumbang
nilai impor sebesar total 58.7% dari impor non migas, dan sisanya baru berasal
impor barang-barang yang ecek-ecek, seperti daging sapi dan semacamnya.
Nah, jika anda jeli, maka anda akan
bisa melihat bahwa impor kita terutama adalah besi dan baja. Sebab mesin-mesin
mekanik pun, itu dibuat dari besi atau baja toh? Demikian pula dengan
mesin-mesin listrik, yang rata-rata dibuat dari produk turunan baja, yakni stainless
steel. Ini karena mesin-mesin tersebut memang dibutuhkan untuk industri.
Ketika ada banyak perusahaan-perusahaan yang bikin pabrik di Cikarang dan
Kawasan Industri lainnya, mereka kemudian segera mengimpor mesin-mesin karena
belum banyak perusahaan teknik di Indonesia yang bisa membuat mesin serupa
(atau mungkin memang belum ada sama sekali kalau untuk mesin tertentu).
Termasuk karena produksi besi dan baja kita juga masih megap-megap, maka
kebutuhan akan besi dan baja kita lagi-lagi harus impor.
Namun seperti juga halnya Tiongkok
yang membutuhkan banyak sekali besi dan baja untuk membangun industrinya di
awal tahun 2000-an (sampai-sampai harus impor dari India, padahal mereka punya
banyak perusahaan baja sendiri), yang akhirnya berujung pada pertumbuhan
ekonominya yang luar biasa terutama sejak tahun 2004, maka mungkin kita juga
sedang menuju kesana. Jika upaya Indonesia saat ini untuk naik kelas dari
negara berkembang menjadi negara industri ini sukses, termasuk Krakatau Steel
dan sejawatnya juga mampu memproduksi besi dan baja dalam jumlah besar-besaran
sehingga kita nggak harus impor lagi, maka kita akan menyusul Tiongkok sebagai
negara yang mampu membuat apa saja, atau minimal bikin jarum pentul dulu deh,
soalnya itu juga masih diimpor dari Tiongkok sana.
Sementara kalau kita melihat
historis sejarah yang lebih jauh lagi ke belakang, negara adidaya seperti
Amerika Serikat pun bisa menjadi negara yang amat sangat maju seperti sekarang
ini, karena diawali dari perkembangan industrinya yang luar biasa pada awal
abad ke 20, dimana mereka bikin mobil, barang-barang elektronik, gedung-gedung
pencakar langit di New York, jalur transportasi kereta api, peralatan militer,
hingga pesawat terbang. Dan seluruh industri tersebut menjadi mungkin untuk
dibangun setelah sebelumnya, yakni pada tahun 1901, seorang pengusaha terkenal
bernama Andrew Carnegie mendirikan US Steel, perusahaan besi dan baja
yang luar biasa besar, dan dikenal sebagai perusahaan pertama di dunia yang
memiliki nilai lebih dari US$ 1 milyar. US Steel inilah, yang kemudian
menyuplai kebutuhan besi dan baja untuk segala jenis industri yang berkembang
di Amerika.
Balik lagi ke Indonesia.
Kesimpulannya, meski kita pada saat ini, hari ini, mengalami defisit
perdagangan, perlambatan pertumbuhan ekonomi, hingga pelemahan Rupiah, namun
mudah-mudahan itu semua justru merupakan ancang-ancang agar kita melompat
lebih tinggi lagi kedepannya. Suatu hari nanti, kita nggak perlu lagi
mengekspor batubara karena PLN sudah cukup besar untuk menyerap semua batubara
tersebut, dan mengkonversinya menjadi listrik yang sangat dibutuhkan oleh
industri, lalu industri tersebut-lah yang akan menghasilkan barang-barang
kualitas ekspor. Suatu hari nanti pula, kita nggak perlu lagi mengekspor CPO,
melainkan mengekspor produk turunannya seperti margarin, oleochemical,
hingga bahan baku kosmetik dan farmasi, dengan nilai jual yang tentunya jauh
lebih tinggi. Dan seterusnya.
http://www.teguhhidayat.com/2013/08/gambaran-perekonomian-indonesia-saat-ini.html